Monday, September 21, 2009

Permintaan kepada Monyet Bersayap

Kalau saya memiliki topi piala emas milik Dorothy
Dan permintaan hanya tinggal diucapkan setelah menggumamkan
Ep-pe, pep-pe, kak-ke!
Hil-lo, hol-lo, hel-lo!
Ziz-zy, zuz-zy, zik!
Dalam sekejap, kumpulan monyet bersayap akan datang
Saya akan minta permintaan pertama saya
Apakah itu?
Ra-Ha-Si-A!
Tapi permintaan kedua tentunya adalah
Menjadikan permintaan pertama itu rahasia
Dan permintaan ketiga itu adalah
Membiarkan monyet-monyet melakukan keinginannya sendiri
Lelah bukan selalu mengabulkan permintaan orang lain?

Tuesday, September 15, 2009

Saran Untuk Dorothy

Jangan percaya Glinda, dia pembohong
Pakailah sepatu rubi merah
Nanti kalau sudah sampai disana
Ikuti saja jalan berbata kuning
Kalau di jalan bertemu orang-orangan sawah, bilang saja:
Kau tak butuh otak untuk kepalamu yang penuh jerami apek
Kalau di jalan bertemu dengan si kaleng, bilang saja:
Kau tak butuh hati di rongga kalengmu, urusi saja karat yang mulai muncul!
Kalau bertemu dengan si singa penakut, bilang saja:
Kau tak butuh keberanian, bahkan aumanmu sudah semakin mirip dengan cicitan tikus
Kalau sudah sampai di istana emerald, ketuk pintu dulu
Jika bertemu dengan penyihir Oz, titip salam untuknya
Ia teman baikku
Oh iya, kalau Toto anjing kecilmu mulai menyusahkan, tinggalkan saja dia bersama monyet-monyet bersayap

Monday, September 14, 2009

Buatan Sendiri

Waktu masih SMA, saya sering ke toko buku Gramedia Matraman. Letaknya dekat dengan sekolah saya yang berada di Salemba, sekali naik angkot nyampe. Kalau mau jalan juga deket kok. Kayak dari gerbang depan ke gerbang belakang ITB. Jauh sebelum Gramedia Matraman direnovasi menjadi seperti sekarang, ada seorang kakek-kakek peniup suling yang biasanya duduk di emperan depan Gramedia. Biasanya dia memainkan lagu soundtrack KDI. Entah kenapa..

Ia punya banyak jenis seruling dari yang Yamaha warna gading, yang warna biru tosca transparant (aduh sampe sekarang saya belom kesampaian beli, padahal suka banget..), sama beberapa pipa paralon yang dibolongi. Tapi yang paling sering ia mainkan adalah si pipa paralon. Suatu hari saya tanya, "Pak, kenapa pake seruling paralon? kan Bapak punya seruling yang bagus..". Lalu jawabnya, "Suaranya lebih bagus yang paralon, Mbak". Oh.. Baiklah.. Saya mengerti, barang buatan sendiri memang lebih spesial, lebih punya unsur personal. Cuma orang yang memakainya yang mengerti.

Sebelum Lebaran tahun itu, saya tanya ke kakek itu, "Bapak rumahnya dimana, Pak?". Katanya, "Saya di Kramat Sentiong, Mbak". Saya tanya lagi, "Asli Jakarta, Pak?". Jawabnya lagi, "Nggak, Mbak. Nanti Lebaran saya pulang kampung." Sehabis Lebaran, saya hendak menemuinya lagi, tapi Ia sudah tidak pernah datang lagi kesitu. Mungkin sudah pulang kampung dan tidak kembali. Lagipula, Gramedianya sudah menjadi terlalu megah. Semoga Kakek itu diberkahi dimanapun ia berada sekarang :)

Konspirasi

Ada seorang kakek, Kakek Bakir namanya. Beliau bukan siapa-siapa di keluarga kami. Tapi eksistensinya selalu saja punya bagian kecil di keluarga kami. Ia adalah orang yang diasuh sama kakek buyut saya, disekolahkan hingga SMP di Brebes sana. Lalu sempat membantu-bantu di keluarga nenek saya di Jakarta. Hingga pada suatu saat ada bagian di dalam hidupnya yang terlalu aneh. Sepertinya dia sempat stress waktu muda. Setiap kali bertemu dengannya, disela-sela kebiasaannya yang selalu menawarkan asuransi Bumi Putera (umurnya sudah 60an loh..), ia suka bercerita tentang konspirasi PKI dan Nan Xie (ini juga saya nebak masalah penulisan Nan Xie itu).

Waktu muda, ia sempat bekerja di Gelora Bung Karno, bekerja di penginapan atlet disana. Itu juga dengan bantuan keluarga Kami (saya belom ada waktu itu). Ia bercerita saat September itu, tempat ia bekerja diserbu TNI dan Pak Harto menjadi komandannya. Ia sempat diculik katanya, perkaranya tentang PKI. Entah benar atau tidak. Sepertinya Ia punya memori yang telah dimanipulasi. Lalu menurutnya ada sebuah kota di RRC yang merupakan sumber komunis yang berkembang di Indonesia, namanya Kota Nan Xie. Nah.. Orang -orang disana memproduksi pil KB yang berisi racun, yang gunanya memusnahkan umat manusia, karena terlalu padatnya dunia, katanya "Orang di RT saya sudah meninggal 6 orang lo, Mbak.. Ini bahaya ini". Bahkan katanya pada tahun 2010 populasi manusia di Indonesia akan turun drastis akibat Nan Xie ini. Setelah googling, ternyata gak ada kota yang namanya Nan Xie, Nan Xie adalah nama orang. Kalau Kota Nanking ada dan ada kejadian Nanking Massacre di wikipedia. Apa ada hubungannya ya? Belom lagi katanya ada konspirasi Nan Xie dengan Ratu Pantai Selatan. Astaga, saya gak ngerti darimana kakek ini mendapatkan ide konspirasi seperti itu.

Saya sudah sering mendengar konpirasi freemasonry, 2012, dan Atlantis. Tapi konspirasi Nan Xie? Yang biasanya mau mengerti dan peduli masalah Kakek Bakir ini cuma saya dan Om saya, Om Bram. Cuma Kami yang mau mendengarkan dengan seksama. Kalau menurut om saya, masalah penculikan itu mungkin adalah fakta , mungkin memang Kakek Bakir sempat aktif di organisasi PKI underground. Dan waktu diinterograsi, mungkin sekali seseorang yang tertekan mengarang cerita-cerita fiktif guna melindungi diri. Saya suka sedih melihat Kakek Bakir yang selalu sendirian. Ia bahkan tidak punya istri, pasti hari-harinya sepi.. Sesekali ke rumah kakek saya ketika Lebaran.

:(

Mungkin ini namanya kecewa
Saya tahu
Kamu dan saya saling tahu
Tapi kenapa tak bisa bilang?
Karena saya kontrol sosialmu?
Tapi saya kecewa
Kita seperti dibatasi dinding imaginer
Saya tahu apa yang kamu lakukan
Begitu juga kamu tahu apa yang saya lakukan
Tapi terus menabrak setiap mendekat
Sedih
:'(
Tapi mau bagaimana lagi?
Kita sudah terlalu lama berbagi cerita
:')

Sunday, September 13, 2009

I paint flowers so they will not die

Ini quote dari Frida Kahlo. Iya, Frida Kahlo yang terkenal itu. Kamu pasti tahu lah.. Seringkali saya merasakan hal itu. Lebih baik diabadikan dalam bentuk gambar, dibanding harus dipetik, lebih baik diabadikan dalam bentuk gambar (maupun lukisan) daripada dalam bentuk foto. Kenapa? Saya percaya, setiap kali kita berusaha menggambar suatu benda, still life, saat itu juga, kita berusaha menangkap spirit dari objek itu. Kalau Frida Kahlo bilang, "I paint flowers so they will not die", itu benar, karena setiap bunga yang berusaha kamu gambar, warna, bentuk dan imagenya akan tertangkap terus berdiam di benakmu. Seakan-akan mereka hidup dalam dirimu.

Begitu pula dengan apapun yang kamu gambar. Memang membosankan menggambar still life, tapi dengan menggambar still life, berarti mentolerir keberadaan benda lain di sekitar kita, berusaha mengerti mereka dan keberadaan mereka di dunia ini.

Daripada memetik bunga yang sebaiknya hidup dan berfungsi dalam ekosistem, lebih baik digambar. Kenapa tidak dengan foto? Terlalu instant, menurut saya memfoto sama dengan shortcut. Kita mengambil jalan pintas dengan mengcapturenya dengan bantuan alat lain, bukan dengan lensa kita sendiri. Kenapa begitu? Dengan lensa yang kita miliki dan dengan olahan visual dari mata ke otak hingga menyangkut emosi ketika itu juga, kita berbagi dengan objek kita, bunga itu. Mengolah dengan manusiawi berarti mematuhi peran kita sebagai manusia, untuk mengerti alam ini.

Saya ingat, ketika masih tingkat 1, kami mahasiswa tingkat 1 belajar menggambar kuda. Sekarang setiap melihat gambar itu, saya teringat hari itu, hari dimana kami semua semangat menggambar kuda di kampus dengan gelak tawa teman-teman, kuda yang bau. Kuda yang bisa membuat hari yang menyenangkan. Kuda yang kurus dan sepertinya stress, namun bertingkah lucu. Hingga kini terekam di memori saya. Mengerti struktur kuda, gesturenya dan selipan tingkah yang lucu dan kelebatan tawa teman-teman saya. Ya, memori itu hidup di benak saya.

Saya percaya, setiap kali kita mengabadikan karya tuhan, sama saja kita semakin beriman kepadanya. Betapa sulitnya membuat tampilan visual bahkan hanya kelopak bunga. Bagaimana dengan sistem yang membuat bunga itu hidup. Bagaimana dengan manusia? Dengan proporsinya yang sulit. Tuhan memang maha pencipta. Bersyukurlah kita masih diperbolehkan meminjam keindahan ciptaan-Nya dalam karya yang kita buat.

Tapi terkadang dengan desakan waktu dan berbagai hal, foto memfoto dahulu memang lebih memudahkan. :) Saya mengerti sekali masalah itu.

Thursday, September 10, 2009

Belajar

Kuliah baru jalan 3 minggu, tapi saya sudah dapet banyak pelajaran baru. Kuliah di seni rupa ini ternyata banyak banget ngasih saya hal-hal baru. Hidup di bumi ini, manusia terus belajar. Saya kadang suka merasa bosan belajar hal yang sama terus menerus. Tapi, semenjak masuk tingkat 2 ini. Rasanya ada tamparan keras buat saya. Saya ternyata belum memaknai apapun.

Saya tidak dekat dengan alam. Bagi saya, sepanjang saya tidak membuang sampah sembarangan sudah cukup. Pohon adalah properti yang diciptakan oleh Tuhan, semacam benda artisitik penunjang. Begitu pula dengan tanah, hanya sesuatu untuk dipijak, dan dengan mistiknya adalah intisari dari manusia, disebutkan dalam kitab suci. Global warming itu adalah omongan di koran, di majalah dan sering hanya menjadi sebatas slogan maupun pernak-pernik GO GREEN yang cukup maksa. Melengos kalo ditawarin masuk organisasi pencinta lingkungan.

Belajar manual membuat saya sadar. Cetakan yang setiap kali kita terima, mungkin brosur, mungkn fotokopian, mungkin juga buku, adalah shortcut. Benda-benda pakai yang kita kenakan dibuat masal menggunakan mesin-mesin industri. Kemarin saya baru dengar suatu hal: Kini kita hidup di dunia yang dilipat, sering melupakan proses.

Belajar mencetak manual di studio grafis, belajar bikin matriksnya dari papan kayu. Kayak mengingatkan saya dengan jelas. Tuhan kasih kita media untuk berkarya. Kayu itu punya nilai bagi kamu, Saras. Kayu itu punya sifat, kayu itu layak kamu hargai. Ia bisa hidup denganmu, layaknya juga kamu layak hidup dengannya. Lalu saya mengambil kuliah keramik pilihan. Tanah itu bernilai. Membuat barang seperti mangkok yang biasanya kamu temui dalam bentuk melamin bergambar itu tidak mudah. Tanah harus diolah, dengan tanganmu yang sombong. Yang tak tahu nilai alam. Tanah itu bisa bercerita banyak, sama seperti kertas yang biasanya kamu coret-coret sembarangan, lalu dibuang. Menyikapi tanah yang liat seperti menyikapi dirimu sendiri. Susah.

Belajar membuat karya dengan media kayu, rasanya benar-benar membuat saya malu dengannya, dengan kayu itu. Hei kami hidup disekitarmu, tapi kamu baru mau bersentuhan dengan kami sekarang? Tanah yang saya coba bikin menjadi bentukan-bentukan baru, seakan-akan mencemooh saya, Kamu lupa kalau kami juga bisa dibentuk dan diperlakukan dengan baik, bukan cuma untuk kamu injak?

Semuanya nampak nyata sekarang. Saya jadi sadar.

Menyikapi kayu, berbeda dengan menyikapi kertas HVS. Menyikapi tanah berbeda dengan menyikapi plastik melamin.

Belajar disini, membuat saya mau belajar banyak hal lagi. Belajar memperbaiki diri dan banyak persepsi sembrono.

Puisi Kikuk

Kikuk

Kok rasanya jadi buruk

Jadi suka terbatuk

Kikuk

Saya jadi merasa suntuk

Padahal dalam hati

Sepertinya ada lagu yang mengalun berulang

Padahal dalam benak

Sepertinya ada ingatan akan bahagia

Tapi kelihatannya malah kikuk

Ternyata......

Nyata